Sejak 10 tahun terakhir, angka
kematian ibu dan bayi di Indonesia berada pada tingkat yang tertinggi
diantara negara berkembang di dunia dan belum menunjukan adanya
kecenderungan menurun walaupun sudah cukup banyak upaya yang dilakukan.
Bahkan diantara negara ASEAN pun pada tahun 2002 angka kematian ibu
melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka ini 65 kali
kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia. Bahkan 2,5 kali lipat
dari indeks Filipina (LIPI, 2009)
Berdasarkan Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014 telah ditetapkan tujuan
pembangunan kesehatan, diantaranya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)
menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan target MDG’s pada
goal 5 adalah penurunan AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015.
Penyebab langsung kematian ibu
sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan
(SKRT 2001), yaitu karena perdarahan (28%), eklamsia (24%), dan infeksi
(11%).
Penyebab tidak langsung kematian
ibu antara lain karena kurang energi kronis (KEK) pada kehamilan (37%)
dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan
meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu
yang tidak anemia.
Dalam hal kesehatan ibu, data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan bahwa secara nasional
82,3% kelahiran sudah dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih.
Namun tenaga kesehatan terlatih di wilayah pedesaan perlu lebih
ditingkatkan agar kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan tidak jauh
berbeda dengan kelompok penduduk perkotaan, demikian juga perhatian
perlu dipusatkan pada pada penduduk miskin. Demikian pula halnya pada
provinsi seperti Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat perlu mendapatkan
perhatian agar proporsi perempuan usia reproduktif dapat lebih banyak
mendapatkan pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan.
Riskesdas 2010 melaporkan bahwa
pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%.
Akan tetapi masih ada 2,8% tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan
3,2% masih memeriksakan kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses
(K1) adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi
hanya 61,3% selama kehamilan memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4).
Riskesdas 2010 melaporkan bahwa
pemanfaatan Pos Bersalin desa (polindes) / Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) sebagai tempat pelayanan terdekat ke masyarakat juga perlu
ditingkatkan, karena hanya 1,5% yang memanfaatkan untuk persalinan.
Walaupun secara nasional 59,4% perempuan usia reproduktif menggunakan
fasilitas kesehatan untuk persalinan, akan tetapi di beberapa provinsi
penggunaan fasilitas kesehatan untuk melahirkan masih sangat rendah,
seperti 7,8% di Sulawesi Tenggara, 8 % di Maluku Utara atau 12,1% di
Sulawesi Tengah.
REFERENSI:
Kementrian
Kesehatan RI, 2011, Informasi tentang Kesehatan Ibu dan Anak melalui
Radio, Panduan bagi Pengelola Program Radio Siaran Pemerintah &
Swasta Nasional Indonesia
Thanks for reading & sharing THE RIANDA