Filsafat
sebagai induk ilmu pengetahuan hadir kembali di tengah-tengah
perkembangan IPTEK yang telah begitu plural. Adapun kepentingan yang
begitu mendesak ini adalah meluruskan arah proses perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya arah pemanfaatannya.
Filsafat
ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi mengenai ilmu pengetahuan.
Hal ini, karena filsafat itu adalah ilmu pengetahuan yang selalu mencari
hakekat, berarti filsafat ilmu pngetahuan berusaha mencari
“keseragaman” daripada “keanekaragaman” ilmu pengetahuan.
Farmasi
sebagai seni dan ilmu dalam penyediaan obat dari bahan alam, dan bahan
sintetis yang sesuai untuk didistribusikan, dan digunakan dalam
pengobatan dan pencegahan penyakit, hadir di tengah-tengah pluralitas
ilmu pengetahuan. Kehadirannya sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang
teoritis sampai pada yang praktis teknologis diharapkan senantiasa
mengalami pencerahan sesuai tujuan awal dari keberadaannya.
Melihat
adanya fenomena yang di dalam proses perkembangannya, farmasi mengalami
pergeseran nilai, sehingga diperlukan sebuah rekonstruksi dalam
perspektif filsafat ilmu pengetahuan.
Farmasi dalam paradigma ontologis
Sudah
menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam
ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan
pada mulanya hanya ada satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat
yang memang hanya mempersoalkan hal-hal yang umum, abstrak dan
universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
hidup yang konkret, positif praktis dan pragmatis.
Melihat
kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus
menurut objek studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan
humaniora, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu
pengetahuan alam. Sedangkan secara kualitatif jenis-jenis ilmu
pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis sampai pada
yang praktis teknologis.
Farmasi
ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat
dilepaskan dari kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan secara
universal yang pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat
moral dan filsafat alam.
Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences
atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena manusia itu memang
merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri, maka mungkin juga
diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai
dengan tingkah yang lain-lain yang bukan manusia, melainkan yang khusus
bagi manusia, yaitu tindakan-tindakan yang terdorong oleh kehendaknya
diterangi oleh budinya (moralnya).
Sedangkan
dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh
filsafat alam dicari inti alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah
sebenarnya isi alam pada umumnya, dan apa hubungannya satu sama lain
serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam ini merupakn ada yang tidak
mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya. Segala isi alam dengan
adanya sendiri itu mungkin banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah
sesuatu yang mempunyai kedudukan istimewa, yang menyelidiki semua itu :
Manusia (Human Being).
Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu sebagai Pure Sciences
yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika. Keempat ilmu alam itu
merupakan kerangka dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis
kealaman seperti ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain
sebagainya.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika.
Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang
lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi
dikembangkan dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan
yang mendesak perlunya pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan
dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.
Adalah
Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan peletak dasar ilmu kedokteran
mencetuskan ide pemilahan farmasi dari kedokteran dengan mencetukan
simbol farmasi dan kedokteran secara terpisah. Namun yang sangat
mengesankan, dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah ketika
Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-undang negara
tentang pemisahan farmasi dari kedokteran yang diajarkan dan
dipraktekkan secara terpisah.
Ilmu
farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu
kimia, biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari
ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari
behavior science.
Farmasi dalam paradigma epistemologi
Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.
Pertama,
Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi
teoritis, dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang
berorientasi pada produksi bahan baku obat, dan obat jadi, dan
perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makanan-minuman.
Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan produk farmasi moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri obat tradisional yang memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai bahan baku yang menghasilkan obat Fitofarmaka,
baik industri farmasi maupun industri obat tradisional kesemuanya
berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur, harga
terjangkau dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.
Kedua,
Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi
(farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah
sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya). Pengabdian
farmasis/apoteker pada farmasi pelayanan meliputi distribusi
obat-obatan dari industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan
kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap masyarakat dan
tenaga-tenaga paramedis, dan monitoring penggunaan obat oleh masyarakat
dan terhadap penderita (pasien). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit
pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan berorientasi pada
pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis,
tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau.
Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu sama lain dalam satu orientasi, yakni health orientation,
untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Farmais/apoteker di
dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian diikat oleh sebuah
etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).
Farmasi dalam paradigma etika
Pemberdayaan
farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada
bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus
bernuansa lebih luas, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan,
maka peranan farmasi hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana
menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan bagaimana mengembangkannya dan
membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu menjaga kesehatannya
dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan
kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan
penghidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia
seluruhnya.
Mengingat
bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain
menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting
adalah kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat
bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi
farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat
memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani
dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.
Untuk
hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara
farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan
didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang
paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan
lingkungan yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan
perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah
cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah
perkembangan farmasi kini dan masa datang. Penyelenggara pendidikan
farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian
farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan
farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli
dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker
yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya.
Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang
dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika. Khusus dalam bidang
pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi bahwa sarana
pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana
farmasis/apoteker harus ada di tempat.
Di
lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi
baik negeri maupun swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI
tahun 2006 tercatat 60 perguruan tinggi di Indonesia yang mengelola
pendidikan farmasi dengan jumlah luaran kurang lebih 20.000 Apoteker
hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan ini tidak
justru karena ‘pangsa pasarnya’ yang memang cukup banyak diminati. Akan
tetapi, kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat turut
mendorong dalam mengembangkan kefarmasian di segala bidang.
Thanks for reading & sharing THE RIANDA