Home » » FARMASI DALAM PERSPEKIF FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

FARMASI DALAM PERSPEKIF FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Posted by THE RIANDA on Wednesday, 28 November 2012

FARMASI DALAM PERSPEKIF FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir kembali di tengah-tengah perkembangan IPTEK yang telah begitu plural. Adapun kepentingan yang begitu mendesak ini adalah meluruskan arah proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arah pemanfaatannya.

Filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi mengenai ilmu pengetahuan. Hal ini, karena filsafat itu adalah ilmu pengetahuan yang selalu mencari hakekat, berarti filsafat ilmu pngetahuan berusaha mencari “keseragaman” daripada “keanekaragaman” ilmu pengetahuan.

Farmasi sebagai seni dan ilmu dalam penyediaan obat dari bahan alam, dan bahan sintetis yang sesuai untuk didistribusikan, dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan penyakit, hadir di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan. Kehadirannya sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang teoritis sampai pada yang praktis teknologis diharapkan senantiasa mengalami pencerahan sesuai tujuan awal dari keberadaannya.

Melihat adanya fenomena yang di dalam proses perkembangannya, farmasi mengalami pergeseran nilai, sehingga diperlukan sebuah rekonstruksi dalam perspektif filsafat ilmu pengetahuan.

Farmasi dalam paradigma ontologis
Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada mulanya hanya ada satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat yang memang hanya mempersoalkan hal-hal yang umum, abstrak dan universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup yang konkret, positif praktis dan pragmatis.

Melihat kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus menurut objek studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan humaniora, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan secara kualitatif jenis-jenis ilmu pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis sampai pada yang praktis teknologis.

Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan filsafat alam.

Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena manusia itu memang merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri, maka mungkin juga diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai dengan tingkah yang lain-lain yang bukan manusia, melainkan yang khusus bagi manusia, yaitu tindakan-tindakan yang terdorong oleh kehendaknya diterangi oleh budinya (moralnya).

Sedangkan dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat alam dicari inti alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada umumnya, dan apa hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam ini merupakn ada yang tidak mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya. Segala isi alam dengan adanya sendiri itu mungkin banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah sesuatu yang mempunyai kedudukan istimewa, yang menyelidiki semua itu : Manusia (Human Being).

Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu sebagai Pure Sciences yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika. Keempat ilmu alam itu merupakan kerangka dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman seperti ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain sebagainya.

Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika. Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.

Adalah Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan peletak dasar ilmu kedokteran mencetuskan ide pemilahan farmasi dari kedokteran dengan mencetukan simbol farmasi dan kedokteran secara terpisah. Namun yang sangat mengesankan, dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah ketika Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-undang negara tentang pemisahan farmasi dari kedokteran yang diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah.

Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.

Farmasi dalam paradigma epistemologi
Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.

Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis, dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi bahan baku obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makanan-minuman. Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan produk farmasi moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri obat tradisional yang memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai bahan baku yang menghasilkan obat Fitofarmaka, baik industri farmasi maupun industri obat tradisional kesemuanya berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur, harga terjangkau dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.

Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi (farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya). Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap masyarakat dan tenaga-tenaga paramedis, dan monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan terhadap penderita (pasien). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis, tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau.

Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu sama lain dalam satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Farmais/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian diikat oleh sebuah etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).

Farmasi dalam paradigma etika
Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.

Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.

Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.

Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa datang. Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.

Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika. Khusus dalam bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi bahwa sarana pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana farmasis/apoteker harus ada di tempat.

Di lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI tahun 2006 tercatat 60 perguruan tinggi di Indonesia yang mengelola pendidikan farmasi dengan jumlah luaran kurang lebih 20.000 Apoteker hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan ini tidak justru karena ‘pangsa pasarnya’ yang memang cukup banyak diminati. Akan tetapi, kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat turut mendorong dalam mengembangkan kefarmasian di segala bidang.

Thanks for reading & sharing THE RIANDA

Previous
« Prev Post